.jpg)
- Sikap PDHI Terhadap PMK di Indonesia
- PERJALANAN PANJANG MENUNGKAP DNA SEBAGAI UNSUR KEHIDUPAN
- PIL PAHIT MENJELANG IDUL QURBAN
- CERPEN FIKSI (BAGIAN KE-2) CUCU SAHABATKU LAHIR KEMBALI MELALUI KLONING
- CUCU SAHABATKU LAHIR KEMBALI MELALUI KLONING
- MENCARI BERBAGAI OBAT ANTIVIRUS: SALAH SATU STRATEGI MENGHADAPI PANDEMI MENDATANG
- Audiensi Ketua PBPDHI Dengan Walikota Palembang
- MENGENAL AAPRP YANG MULTIGUNA: DAPATKAH MENYEMBUHKAN PENDERITA COVID-19
- Penyerahan Bantuan Telur Dari PDHI Dan Kagama Kepada Universitas Tamansiswa Palembang
- TOKOH NASIONAL DIES NATALIS UGM ke 72, FKH ke 75 dan HUT RI ke 76.

.jpg)
IVERMECTIN: OBAT
“AJAIB” DARI TANAH KE ANTIPARASIT SAMPAI DIHADIAHI NOBEL DAN HARAPAN UNTUK MENGATASI COVID-19
Oleh: Sjamsul Bahri
Purnabakti Profesor Riset Kementan, Alumni FKH-IPB Tahun 1978
Baca Lainnya :
- Doa Bersama PDHI
- Kementan: Belum ada bukti anjing dan kucing menularkan COVID-19
- PDHI Cabang Sumatera Selatan kembali melakukan audiensi dengan Kepala Daerah di lingkup Provinsi Sum
- Peringatan Hari Susu Nusantara di Kabupaten Fakfak Papua Barat
- Hari Susu Nusantara
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini Ivermectin menjadi
topik hangat terkait dengan kemungkinannya untuk mengendalikan Covid-19.
Hal ini dipicu dengan berkepanjangannya pandemic covid-19 ditambah lagi munculnya
gelombang kedua seperti yang terjadi di India pada bulan Maret-Awal Mei 2021
dengan lonjakan kasus harian mencapai lebih dari 400.000 kasus per harinya, sehingga
masyarakat global khawatir pandemik semakin parah. Sementara itu di Indonesia,
gelombang kedua dimulai sekitar awal Juni 2021 setelah idul fitri 1 Syawal 1442
H ( tgl 13-14 Mei 2021). Dari kasus
harian terendah tgl 15 Mei 2021 sebesar 2.385 (rata-rata 7 harinya 3.844),
kemudian mulai meningkat di awal Juni dan pada minggu ketiga tgl 21 Juni 2021 sudah
mencapai 14.536 (rata-rata 7 harinya 12.120) yang menyamai puncak kasus harian
tertinggi pada gelombang pertama tgl 30 Januari 2021 dengan jumlah 14.518. Pada
tanggal 15 Juli 2021 kasus harian mencapai rekor baru tertinggi 56.757 kasus
(rata-rata dalam 7 harinya 44.145 kasus), lebih dari 3 kali puncak gelombang
pertama dengan jumlah kematian 982 jiwa (JHU CSSE Covid-19, 15 Juli 2021). Keadaan ini
mengindikasikan tingginya penularan baru yang diduga akibat kerumunan dan
pengabaian prokes pada saat terjadinya libur idul fitri tgl 13-14 Mei 2021,
selain juga akibat munculnya varian virus baru (antara lain Alfa, Beta dan
Delta) terutama varian delta asal India yang lebih ganas. Dengan jumlah 56.757
kasus pada tgl 15 Juli 2021, Indonesia menjadi peringkat teratas kasus harian
diikuti oleh Brazil (52.789), Inggris (48.553), India (39.072) dan Amerka
Serikat (36.674).
Walaupun vaksinasi covid-19 sudah
terus dilaksanakan di seluruh dunia, namun wabah ini belum memperlihatkan
tanda-tanda akan berakhir, bahkan ada kecendrungan untuk meningkat kembali
dengan terus bertambahnya jumlah kasus harian maupun angka kematiannya di
beberapa negara seperti India, Brazil, Rusia dan Indonesia. Hal ini selain karena cakupan vaksinasinya
masih rendah dan melonggarnya penerapan Prokes, juga dipicu oleh munculnya
varian-varian virus SARS-CoV-2 baru seperti varian Inggris (B.1.1.7 ataut
varian Alfa), varian Afrika Selatan (B.1.351 atau varian Beta) dan varian India
(B.1.617 atau varian Delta) yang lebih ganas dan telah menyebar luas keberbagai
negara.
Kejadian gelombang kedua ini tidak
hanya terjadi di India dan Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain
sehingga dalam situasi kritis ini berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi dan
mengendalikan Covid-19. Selain dengan
mengintensifkan protokol kesehatan (5 M), program vaksinasi, berbagai
obat-obatan yang diduga dapat memerangi virus SARS CoV-2 ini dicoba untuk digunakan.
Salah satu obat yang mulai banyak dibicarakan dan menjadi viral akhir-akhir ini
adalah Ivermectin yang banyak diklaim
dapat menghambat perkembangan virus SARS-CoV-2, walaupun belum ada anjuran
resmi dari WHO. Informasi yang beredar baru pada tahap uji in vitro yang sangat
efektif dalam menghambat replikasi virus SARS-CoV-2 (Caly, et al 2020) dan
beberapa uji klinis terbatas yang hasilnya memperlihatkan dukungan positif
namun masih memerlukan uji klinis yang lebih komprehensif (Aguirre-Chang, et al
2020; Behera, et al 2021; Pott-Yunior et al 2021)). Namun demikian ada beberapa negara yang sempat
menggunakannya untuk pencegahan dan pada gejala ringan atau OTG seperti yang
terjadi di India pada bulan April saat kasunya melonjak tajam (Anonimus, 2021). Di Indonesia juga terjadi polemik berbagai
pihak antara yang pro (menganjurkan)
untuk menggunakan ivermectin dengan dosis tertentu, dan kelompok yang menolak
karena belum ada uji klinis yang meyakinkan.
Sedangkan Badan POM sendiri yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
izin edar obat, baru memberikan ijin untuk uji klinis.
Sehubungan dengan hal tersebut tulisan
ini akan mengulas tentang obat “ajaib” Ivermectin mulai dari sejarah
penemuannya sampai menjadi andalan sebagai obat antiparasit baik ada hewan
maupun manusia, dan beberapa hasil penelitian sebagai antivirus maupun sebagai
anti covid-19 yang masih dalam tahap uji klinis.
SEJARAH
IVERMECTIN
Awal
penemuan dan perannya sebagai obat untuk hewan
Ivermectin merupakan obat antiparasit
multi guna yang revolusioner bersifat endektosida, dapat membunuh berbagai
macam parasit baik yang didalam (endoparasit) maupun diluar tubuh
(ektoparasit), dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral serta
sampai saat ini tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda munculnya resistensi
sebagaimana kebanyakan obat antiparasit lainnya (Omura, 2015). Keberhasilan penemuan Ivermectin ini tidak
lepas dari proyek kerjasama pada tahun 1973 yang melibatkan multidisiplin dan
bersifat internasional antara institusi sektor public (Japan’s Kitasato Institute) dan sektor swasta perusahaan farmasi
terkenal (Merck, Sharp dan Dohme/MSD). Kitasato institute yang didirikan pada
tahun 1914 oleh Hibasaburo Kitasato merupakan institusi terkenal di Jepang
dengan berbagai penemuan obat-obatan maupun vaksin, sedangkan Merck, Sharp dan
Dohme juga perusahaan farmasi swasta internasional yang telah dikenal dunia.
Dalam kerjasama ini, pihak Kitasato
yang diketuaii oleh Dr. Sitoshi Omura melakukan koleksi berbagai sampel tanah di
Jepang, kemudian mengkultur mikroba yang ada, mengisolasi dan menseleksinya
untuk diperoleh mikroba yang berpotensi memiliki senyawa bioaktiv secara in
vitro untuk diteliti lebih lanjut. Selanjutnya mikroba-mikroba yang telah diisolasi
ini dikirim kepada mitra kerjanya
MSD yang berbasis di Amerika Serikat
untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan uji in vivo.
Kegiatan yang dilakukan MSD yang
dipimpin oleh Dr. Wiliam Campbell melakukan identifikasi macam mikroorganisme
dan senyawa bioaktif tersebut, mempelajari strukturnya sampai kepada mengetahui
aktivitas biologiknya. Satu dari 50
mikroorganisme yang dikirim Kitasato Institute (Dr. Omura) pada tahun 1974
diketahui sebagai actinomycete, yang menghasilkan senyawa bersifat anthelmintic
yang kuat. Mikroorganisme tersebut awalnya diberinama Streptomyces avermitilis MA-4680, namun setelah dikarakterisasi
lebih lanjut akhirnya diberinama Streptomyces
avermectinius (Takahashi, et al 2002), dan pada tahun 1975 dapat
diidentifikasi senyawa bioaktifnya oleh tim multidisiplin laboratorium Merck
dan senyawa tersebut diberinama
Avermectin dengan turunannya Ivermectin yang dianggap optimal untuk
digunakan (Crump & Omura, 2011).
Selanjutnya dibawah arahan Dr. Wiliam Campbel diketahui bahwa senyawa
tersebut aktif melawan berbagai parasit ternak dan hewan piaraan lainnya, dan
akhirnya secara resmi registrasi sebagai obat hewan baru keluar pada tahun
1981.
Sifat poten Avermectin keluarga baru
agen anthilmentik ini telah dibuktikan oleh Burg, et al (1979) dalam artikelnya
yang menjelaskan bahwa senyawa kimia avermectin ini menunjukkan aktivitas
anthelmintik yang luar biasa kuat. Senyawa yang dihasilkan dari Streptomyces avermitilis ini diidentifikasi sebagai rangkaian turunan
makrosiklik lakton yang berbeda dengan makrolida atau antibiotic polyene. Avermectin ini aktivitasnya sangat kuat terhadap nematoda intestinal. Sementara itu Egerton et al (1979)
membuktikan bahwa pemberian Avermectin
B1a dosis oral tunggal 0,1 mg/kg pada domba dapat mengurangi lebih dari 95% Haemonchus contortus, Ostertagia circumcinta, Trichostrongylus axei, Trichostrongylus colubriformis, Cooperia oncophora, dan Oesophagostomum columbianum. Hal yang sama juga dibuktikan pada sapi
dengan dosis yang sama seperti pada domba dengan efektifitas > 95%
mengurangi Haemonchus contortus, Ostergia ostertagi, T. axei, T. colubriformis,
C .oncophora, C. punctate, Oesophagostomum radiatum dan Dyctyocaulus viviparous. Avermectin B1a ini juga efektif menghilangkan Ancylostoma caninum sampai 83-100 % pada
anjing dengan dosis oral tunggal 0,003-0,005 mg/kg. Pada unggas juga efektif
menghilangkan nematode Capillaria
obsignata dengan dosis 0,05 mg/kg dan Ascaridia
galli yang belum dewasa dengan dosis 0,1 mg/kg. Hasil penelitian ini membuktikan sifat
spectrum luas dari Avermectin.
Pada tahun 1979 makalah tentang
avermectin ini pertama kali dipublikasi yang menggambarkan tentang struktur dan
kimia dari serangkaian turunan makrosiklik lakton yang mempunyai sifat anthelmintik
sangat poten, dan tidak mempunyai sifat antibakteri maupun antikapang (Burg, et
al, 1979). Avermectin ini sangat efektif
untuk cacing bundar di usus dan saluran pernafasan dan parasit filarial, dan
juga memiliki aktivitas biosidal terhadap berbagai nematoda, insek dan
arachnida. Selanjutnya dihasilkan
turunan Avermectin yang lebih efektif yang disebut Ivermectin yang sangat
bermanfaat untuk mengatasi tungau, caplak, lalat ektoparasit dan parasit lain
yang menimbulkan kerugian ekonomi pada industri peternakan. Akhirnya ivermectin ini aktivitasnya sangat
menjanjkan terhadap parasit internal dan eksternal pada kuda, sapi, babi, domba
dan hewan-hewan lainnya. Sehingga pada tahun 1981 Avermectin yang broadspektrum
ini mulai dipasarkan penggunaannya untuk kesehatan hewan. Dua tahun kemudian turunan avermectin yang
dikenal sebagai ivermectin mencapai pasar terbesar dibidang veteriner (Crump
& Omura, 2011; Omura, 2015).
Selanjutnya Chabala, et al (1980)
melakukan pengujian sifat spectrum luas dari berbagai turunan avermectin, dan
mereka menyimpulkan bahwa agen antiparasit Ivermectin (22, 23-Dihydroavermectin
B1) adalah yang paling efektif. Ivermectin yang efektif pada dosis sangat rendah
terhadap berbagai parasit nematoda dan arthropoda tampaknya didasarkan kerjanya pada mediasi neurotransmisi oleh asam
gamma-aminobutyric (Campbell, et al 1983). Pada tahun 1983 (setelah mendapat
registrasi tahun 1981), ivermectin sudah diproduksi untuk penggunaan secara
luas di berbagai negara dalam mengobati dan mengendalikan parasit pada berbagai
hewan ternak maupun hewan kesayangan.
Jadi dalam sejarah penemuan dan
penggunaan Avermectin atau Ivermectin terlihat bahwa para dokter hewan telah
lebih dahulu mengenal dan menggunakan obat ini untuk mengatasi parasit dalam
(endoparasit) maupun parasite luar (ektoparasit). Bahkan penggunaan Ivermectin untuk industri
peternakan sampai tahun 2011 telah mencapai nilai lebih dari 1 miliar dollar Amerika( Crump & Omura,
2011).
Perjalanan
panjang sebagai obat untuk manusia
Pada tahun 1974/1975 WHO mempunyai rencana untuk mengatasi infeksi
Onchocerciasis (yang disebabkan oleh Onchocerca
volvulus) yang menjadi masalah kesehatan pada masyarakat di negara miskin
terutama di Afrika dengan jumlah penderita sekitar 18 juta orang dimana 770.000
orang diantaranya menyebabkan kebutaan,
sedangkan potensi masyarakat tertular sekitar 120 juta pada 36 negara utamanya
negara-negara di sub-sahara afrika. Parasit/cacing Onchocerca
volvulus ini dapat hidup sampai 15 tahun ditubuh manusia dimana cacing
betinanya memproduksi jutaan
mikrofilaria selama masa hidupnya. Namun WHO dan Tim penanggulangan penyakit mengalami
kesulitan mencari pilihan obat yang efektif.
Sementara itu dari hasil penelitian
yang dilakukan Ms L.S. Blair, peneliti dari Merck memperlihatkan hasil
efektivitas ivermectin terhadap mikrofilaria yang hidup dibawah kulit dari Onchocerca cervicalis pada kuda. Saat
itu juga Dr. Campbell menduga kemungkinan ivermectin juga dapat digunakan untuk
mengatasi Onchocerciasis pada manusia. Selanjutnya Dr. Campbell pada Juli 1978
mengirim senyawa ivermectin ini untuk uji screening tersier pada ternak lain
(sapi) di Australia terhadap Onchocerca lain, dan hasilnya ivermectin efektif
terhadap Onchocerca gibsoni dan O. gutturosa. Hasil ini memperkuat dugaan bahwa Ivermectin
dapat untuk mengatasi Onchocerciacis pada manusia yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat miskin di Afrika.
Akhirnya pada Desember 1978 Managemen Merck menyetujui untuk mendanai
penelitian potensi ivermectin terhadap Ochocerciasis pada manusia, inilah awal
penggunaan ivermectin pada manusia yang dimulai pada tahun 1978 (Crump &
Omura, 2011).
Pada tahun 1978, MSD mulai memerankan
ivermectin dalam kesehatan manusia dengan Dr. Wiliam Campbell sebagai
pengendalinya, setelah hasil positif yang diperoleh pada penelitian pendahuluan
pada hewan di Australia sebagai uji screening. Dari sini Avermectin dijadikan
pilihan utama untuk mencegah kebutaan yang disebabkan oleh Onchocerciasis. Pada tahun 1981 percobaan atau uji klinis
pada manusia dilakukan dengan hati-hati mulai dari dosis yang sangat rendah 5
ug/kg berat badan kemudian menjadi 30 ug/kg dosis tunggal yang tidak ada efek
samping sampai 6 bulan dan sudah memperlihatkan penurunan julmlah mikrofilaria
kulit, dan akhirnya diketahui sampai dosis 200 ug/kg masih cukup aman dan dapat
ditolerir (Aziz, et al, 1982; Crump & Omura, 2011).
Akhirnya Ivermectin dianggap ideal
untuk memerangi Onchocerciasis baik yang menimbulkan kerusakan kulit maupun
mata, sehingga tidak terjadi gangguan baik pada kuit maupun kebutaan mata. Hasil evaluasi menunjukkan dampak ivermectin
ternyata cukup efektif untuk mengatasi Onchocerciasis pada manusia (Lariviviere,
et al 1985). Pada tahun 1987 Merck menerima persetujuan dari otoritas Perancis
yang secara resmi mengijinkan penggunaan Ivermectin pada manusia.
Setelah mendapat registrasi izin
penggunaan untuk manusia, Ivermectin dengan naman dagang Mectizan Perusahaan
Merck & Co. Inc. mendonasikan obat tersebut untuk pengobatan “River
Blindness” Onchocerciasis sepanjang obat tersebut dibutuhkan dalam pengobatan
tersebut. Karena Ivermectin hanya membunuh microfilariae (cacing yang belum
dewasa) dan tidak membunuh yang dewasanya, sehingga dibutuhkan waktu 15 tahun
sampai cacing betina dewasanya mati/hilang secara alami sesuai siklus hidupnya.
Dalam sejarah pemberantasan Onchocerciasis dan mengatasi kebutaan pada puluhan
juta msayarakat di Afrika, Ivermectin sangat besar peranannya.
Penyakit parasit lainnya yang sangat
melemahkan masyarakat adalah penyakit Limfatik Filariasis (Lymphatic
filariasis) yang dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan mengancam sekitar 1,3
miliar penduduk di 83 negara. Diperkirakan saat itu sekitar 120 juta orang di wilayah
tropis dan sub tropis telah terinfeksi dimana 40 juta diantaranya mengalami
kelumpuhan. Penyakit ini disebabkan oleh
cacing filarial, Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi atau B. timori. Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk yang telah terinfeksi filarial dalam bentuk dewasa disaluran
lymphatic. Penyakit menyebabkan kerusakan dan pembengkakan (Lymphoedema), pembengkakan pada kaki dan
organ genital laki-laki berupa hydrocele
(Omura, 2015).
Dalam mengatasi penyakit ini, peneliti dari MSD pada
pertengahan tahun 1980-an (sebelum Ivermectin di akui oleh Otoritas Prancis
untuk digunakan pada manusia dalam mengatasi Onchocerciasis) mulai melakukan
ujicoba ivermectin untuk melihat dmpaknya terhadap limfatik filariasis untuk
mengetahui dosis optimalnya. Tim pemberantasan parasit juga melakukan uji coba
lapang secara luas pada berbagai negara termasuk china, Indonesia, Malaysia
untuk mengevaluasi ivermectin dibandingkan obat eksisting Diethylcarbamazine
(DEC) dengan hasil ivermectin sangat efektif menekan sampai 99% setelah 1 tahun
dan 96% setelah 2 tahun. Namun
penggunaan ivermectin untuk Limfatik filarial baru teregistrasi pada tahun 1998
oleh otoritas Perancis (Omura, 2015).
Setelah teregistrasi, Merck juga
mendonasikan ivermectin untuk program pengendalian Limfatik filariasis
(penyakit kaki gajah) dimana pada tahun 1999/2000 WHO meresmikan program global
untuk memberantas Limfatik filariasis (Global
Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis/ GPELF). Total ivermectin yang didonasikan adalah 1,4
miliar untuk pengobatan Onchocerciasis (1987-2014) dan 1,2 miliar untuk
pengobatan Lymphatic filariasis (2000-2014) (Omura, 2015). Mengacu kepada upaya
dunia untuk mengatasi penyakit Onchocerciasis dimana ivermectin menjadi
satu-satunya obat untuk mengontrol penyakit tersebut, Laporan ilmu pengetahuan
dunia UNESCO mengatakan bahwa program
ini adalah salah satu kampanye kesehatan masyarakat paling sukses yang pernah
dilakukan didunia, teurutama untuk negara berkembang (UNESCO, 2005). Ivermectin juga digunakan untuk mengobati
berbagai infeksi nematode internal selain Onchocerciasis.., yaitu
Strongyloidiasis, Ascariasis, Filariasis, Gnathostomiasis dan trichuriasis,
juga untuk pengobatan oral infeksi ektoparasit seperti Pediculosis dan kudis (tungau)
(Crump & Omura, 2011).
BERUJUNG
PADA HADIAH NOBEL
Perjalanan panjang untuk mendapatkan
senyawa Avermectin mulai dari koleksi sampel tanah pada awal tahun 1970-an,
menemukan bakteri Streptomyce
Avermectinus, mengisolasi senyawa Avermectin, dan uji coba serta pembuktian
bioaktivitasnya sampai penggunaannya pada hewan tahun 1981, dan pada manusia
(1987 untuk penyakit Onchocercariasis dan tahun 1997 untuk Lymphatic
filariasis) dalam memberantas dan menyelamatkan nyawa dan kesejahteraan manusia
khususnya penduduk miskin di berbagai negara miskin, berjalan selama lebih dari
30 tahun. Pada akhirnya Majelis Nobel di Karolinska Institute menganugerahkan
penemu Avermectin/Ivermectin Dr. William
C. Campbell dan Dr. Satoshi Omura Penghargaan Nobel dibidang Fisiologi atau
Kedokteran pada bulan Oktober 2015 bersama Dr. Tu Youyou untuk temuannya Artemisinin dalam memberantas
Malaria.
Dalam pidato penerimaan hadiah Nobel Fisiologi
atau Kedokteran pada tahun 2015, Omura memberikan catatannya diakhir naskahnya,
bahwa: 1). Ivermectin secara kontinyu sangat aman untuk digunakan pada manusia;
2) efek samping yang minimal; 3) pemberiannya dapat dilakukan tenaga non medis
bahkan pada masyarakat diperdesaan dengan diberikan sedikit petunjuk; 4) sejak
diintroduksi penggunaan untuk manusia pada tahun 1987 telah menyelamatkan kehidupan
dan kesejahteraan ratusan juta manusia terutama penderita atau yang terancam
Onchocercasiasis dan Filariasis; 5) ivermectin bermanfaat langsung atau tidak
langsung dalam meningkatkan kesehatan masyarakat sehingga menjadi obat pilihan
bagi masyarakat miskin diperdesaan; 6) harganya juga relative murah.
Selain itu potensi penggunaan lain
dari Ivermectin dapat dilihat dari
beberapa indikator potensial yang telah diidentifikasi sejauh ini, terutama
terhadap penyakit orang miskin, dan memberikan wawasan tentang spektrum luas
manfaat ivermectin yang mungkin belum ditemukan dan belum dieksploitasi. Dalam hal ini potensinya untuk mengatasi: 1) Ttrichinosis, 2) Myasis, 3) Pengendalian vector, 4) Malaria, 5) Leishmaniasis, 6) Trypanosomiasis,
7) Schistosomiasis, 8) Efek Antiviral
seperti HIV-1, virus Dengue , virus Yellow fever dengue, Japanese
encephalitis, tick borne encephalitis;
9) Antibakterial, seperti Clamydia
trachomatis, dan Mycobacterial spesies seperti Mycobacterium tuberculosis dan M.ulcerans,
dan 10) Antikanker seperti Leukemia dan Sel Kanker Servik.
EFEK
ANTIVIRUS IVERMECTIN
Vaksin adalah sediaan biologik yang
merupakan bagian dari obat yang dapat digunakan untuk mencegah berkembangnya
agen penyakit infeksius tertentu pada tubuh manusia atau hewan. Virus sebagai
salah satu agen infeksius, pengendaliannya umumnya menggunakan vaksin, namun
tidak semua virus dapat diatasi dengan vaksin karena virus-virus tertentu
seringkali cepat bermutasi atau tidak mudah untuk dibuat vaksinnya. Sedangkan
virus yang sering bermutasi juga tidak mungkin dapat diatasi dengan vaksin
karena begitu cepatnya bermutasi, sementara itu proses pembuatan vaksin memerlukan waktu, sehingga pada waktu vaksin
tersedia virusnya sudah berubah lagi dan
tidak klop dengan vaksin yang ada.
Oleh karena itu alternativ lain untuk
mengendalikan agen penyakit berupa virus harus dicarikan obat-obatan yang dapat
berperan sebagai antivirus dengan mekanisme tertentu sehingga dapat menghambat
replikasi virus. Ivermectin yang mempunyai
spectrum luas terhadap berbagai parasit telah dipelajari sifat antivirusnya
pada berbagai virus secara in vitro.
Hasil penelitian ini telah
dikemukakan oleh berbagai peneliti antara lain Wagstaff et al (2012)
pada virus HIV-1, Tay et al (2013) pada virus demam berdarah Dengue DENV 1-4,
Lundberg, et al (2013) pada virus Venezuelan Equine encephalitis virus VEEV,
dan Yang et al (2020) pada virus West Nile. Sedangkan Lv et al (2018)
mengemukakan bahwa ivermectin juga cukup efektif terhadap virus DNA seperti virus Pseudorabies baik secara in
vitro maupun in vivo pada mencit.
Tay et al 2013 telah membuktikan
secara invitro efek antivirus dari ivermectin ini terhadap virus DENV 1-4
dimana molekul ivermectin menghambat terjadinya proses interaksi molekul NS5
dari virus Dengue kepada sel host (biakan sel)
sehingga sel tersebut terlindungi dan replikasi virus tidak terjadi. Lundberg et al 2013 juga dalam penelitiannya
secara invitro pada biakan sel mamalia dengan menggunakann virus Venezuelan
equine encephalitis memperlihatkan hasil bahwa ivermectin dapat menghambat
perbanyakan virus dengan berkurangnya titer virus (menghambat replikasi virus)
maupun efek sitopatiknya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ivermectin sebagai
penghambat impor nuklir (importins α/β) dalam proses replikasi virus, sehingga
dapat melindungi sel-sel dari apoptosis, selain juga berperan dengan mengganggu
fungsi protein esensial virus.
Secara lebih detal Lv et al (2018)
mengemukakan bahwa aktivitas antivirus Ivermectin pada virus DNA (virus Pseudorabies) melalui penghambatan (Penghalangan) pada
proses transport nuklir yang bergantung pada importin α/β ketika protein
esensial virus atau DNA polymerase akan memasuki nucleus sel yang diinfeksinya
guna melakukan replikasi dari virus tersebut. Dengan demikian perbanyakan atau
replikasi virus menjadi terhambat. Sedangkan secara in vivo pada tikus dengan
memberikan pengobatan Ivermectin pad tikus yang diinfeksi virus Pseudorabies
(PSV) memperlihatkan bahwa ivermectin menghambat infeksi PSV secara signifikan
dengan cara menekan sintesis virus DNA dan produksi virus-virus keturunannya.
Dalam hal ini ivermectin mengganggu lokalisasi nuklir UL42 dengan menargetkan
sinyal lokalisasi nuklir protein dalam sel yang ditransfeksi (Lv et el 2018).
Sehingga pemberian ivermectin dapat meningkatkn kelangsungan hidup tikus yang
terinfeksi PRV dan juga mengurangi terjadinya infeksi.
Diduga terjadinya hambatan dari
ivermectin pada berbagai virus untuk bereplikasi dalam biakan sel secara
invitro utamanya melalui hambatan pada proses transport nuklir yang melibatkan
importin α/β dari sel/host, sehingga proses replikasi virus selanjutnya
terhambat. Hal ini terjadi karena target
ivermectin sebagai antiviral umumnya pada transport nuklir iomportin α/β dari
host seperti yang telah diperlihatkan oleh Yang et al, 2020. Efek inhibitor importin α/β dari ivermectin
ini juga telah diperlihatkan oleh Wagstaff, et al (2011) yang memperlihatkan
cara kerja ivermectin atau antiviral lain dalam menghambat replikasi virus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam proses siklus hidup virus dalam sel hidup
adalah dimana protein virus spesifik masuk kedalam nucleus sel yang diinfeksi
untuk melakukan fungsi esensialnya, kemudian molekul integrase (IN) dari virus
berperan dalam mengintegrasikan genom virus ke dalam sel host yang diinfeksi
tersebut. Oleh karena molekul IN
(integrase) harus masuk ke dalam nucleus sel untuk dapat menjalankan fungsinya,
maka proses transport nuklir dari IN dijadikan target untuk intervensi
terapeutik atau peran sebagai antiviral (Wagstaff, et al 2011). Inilah yang menjadi target kerja dari
ivermectin atau senyawa anti viral lainnya.
TELAAHAN
PENELITIAN IVERMECTIN SEBAGAI ANTIVIRUS
SARS-CoV-2 PENYEBAB COVID-19
Dari berbagai penelitian efek
antivirus Ivermectin terhadap virus SARS-CoV-2 yang dipelajari secara in vitro,
penelitian Caly et al (2020) dari Australia adalah yang sangat menarik. Caly et
al (2020) dalam peneitiannya melakukan uji coba efek ivermectin terhadap virus
SAR-CoV-2 isolat Australia/VIC01/2020 yang dibiakkan pada sel Vero/hSLAM. Dalam
penelitian ini 5 uM ivermectin ditambahkan ke media sel kultur pada 2 jam
setelah media diberikan virus SARS-CoV-2.
Kemudian supernatan dan pellet sel tersebut dianalisis pada hari ke 0-3
dengan RT-PCR untuk mengetahui perkembangan/ replikasi virus tersebut. Hasilnya memperlihatkan terjadinya
pengurangan RNA virus sebanyak 93% pada supernatan pada 24 jam setelah diberi
ivermectin dibandingkan kontrol yang hanya diberi DMSO. Pada 48 jam kemudian persentase pengurangan
RNA virus meningkat menjadi 99,8% dibandingkan kontrol. Jadi dalam waktu 48 jam efek pengurangan RNA
virus mencapai sekitar 5000 kali lipat dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ivermectin efektif
menghambat perkembangan/ replikasi virus SARS-CoV-2 secara in vitro. Hambatan
replikasi ini kemungkinan terjadi melalui penghambatan impor protein virus yang
dimediasi oleh IMPα/β1 seperti yang dikemukakan Wagstaff et al, 2011 maupun
Yang, et al 2020. Hasil ini juga memperkuat hasil-hasil penelitian lain bahwa
ivermectin bertindak sebagai antiviral dan berpotensi untuk digunakan dalam
mengatasi Covid-19, yang tentunya harus dilanjutkan dengan ujicoba secara
klinis.
Menanggapi hasil penelitian Caly et al
(2020) yang memperlihatkan efek poten ivermectin sebagai inhibitor dalam
replikasi virus SARS-CoV-2, Chaccour, et
al (2020) mengulasnya bahwa pemberian dosis 5 uM ivermectin dalam penelitian
tersebut (IC50 Ivermectin untuk virus sekitar 2,5 uM) setara dengan
4.370 ng/ml, yang berarti 50-100 kali lipat konsentrasi puncak yang dicapai
dalam plasma setelah pemberian dosis tunggal 200 ug/kg (sekitar 14 mg pada
orang dewasa dengan berat badan sekitar 70 kg) yang umum digunakan untuk
mengendalikan Onchocerchiasis (Chaccour, et al 2017). Sementara itu dosis ivermectin yang masih
aman dan dapat ditolerir menurut Guzzo et al (2002) adalah 120 mg pemberian
dosis tunggal pada orang dewasa, ini sama dengan 10 kali dari dosis yang
direkomendasikan FDA untuk pengobatan parasit pada manusia. Dosis ini juga baru
setara dengan konsentrasi puncak 250 ng/ml, atau baru sekitar sepersepuluh
lebih rendah dari dosis efektif yang digunakan Caly et al (2020) untuk
menghambat replikasi virus SARS-CoV-2 secara in vitro. Telahaan Chaccour et al (2020) ini
mengindikasikan bahwa masih perlu penelitian leih lanjut untuk bisa menggunakan
ivermectin dalam mengontrol covid-19.
Dalam uji coba klinis ivermectin terhadap penderita covid-19 maupun pada
orang sehat untuk pencegahan/ prophylaksis hendaknya diperhatikan aspek
farmakokinetiknya juga.
Uji coba pengobatan/ pemberian
ivermectin pada penderita Covid-19 bergejala ringan dilakukan oleh Pott-Yunior,
et al (2021) dengan 4 perlakuan: 1) perlakuan standar, 2) Standar plus 100 ug
ivermectin/kg, 3) Standar plus 200 ug/kg, dan 4) Standar plus 400 ug/kg.
Pengamatan terhadap dua kali hasil negativ SARS-CoV-2 RT PCR. Hasil
memperlihatkan bahwa Penderita yang diberi tambahan ivermectin memberikan hasil
negativ lebih cepat daripa yang hanya dengan pengobatan standar saja. Walaupun
penelitian ini masih penelitian pendahuluan dengan jumlah sampel yang terbatas,
namun hasilnya memperlihatkan bahwa penggunaan ivermectin pada penderita
covid-19 aman, dapat mengurangi gejala klinis dan virus load, mengindikasikan
potensi pemberian ivermectin pada awal penyakit. Penelitian ini masih
memerlukan lanjutan.
Penelitian lain tentang penggunaan
Ivermectin untuk mencegah tertular virus SARS-CoV-2 juga telah dilakukan oleh
Behera, et al (2021) dengan memberikan dua dosis prophylaksis 300 ug/kg dengan
jeda waktu 3 hari (pemberian pertama pada hari ke-1 dan pemberian kedua setelah
72 jam kemudian yaitu pada hari ke-4) kepada tenaga kerja kesehatan di India
pada bulan September 2020 sampai Oktober 2020.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian dua dosis prophylaksis
ivermectin masing-masing sebesar 300
ug/kg berkaitan dengan terjadinya pengurangan infeksi SARS-CoV-2 sebesar 73% diantara
tenaga kerja kesehatan tersebut pada bulan berikutnya. Hasil serupa untuk
tujuan prophylaksis juga telah dilaporkan oleh Aguirre-Chang dan Trujiilo
(2020) pada orang dewasa di lima Peru, bahwa ivermectin sangat bermanfaat untuk
prophylaksis bagi orang dewasa dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan pada hari
pertama kemudian diikuti dengan dosis sama 0,2 mg/kg berat badan pada hari
ketiga. Bryant et al (2020) juga dalam artikelnya mengemukakan bahwa pemberian
ivermectin pada penderita Covid-19 dapat menekan resiko kematian dan
meningkatkan angka kesembuhan, sedangkan pemberian untuk prophylaksis
mengurangi terinfeksi covid-19 rata-rata 86%.
Namun hasil-hasil penelitian ini masih memerlukan uji klinis yang lebih
luas dan komprehensif untuk sampai kepada rekomendasi detail untuk pencegahan
dan pengobatan terhadap Covid-19.
Walaupun Ivermectin ini diyakini
memiliki aktivitas antivrus termasuk terhadap virus SARS-CoV-2, tetapi dari berbagai
hasil penelitian uji klinis awal ini belum dapat memberikan kesimpulan apakah
ivermectin efektif mengatasi covid-19 atau tidak. Juga tidak diketahui berapa besaran dosis
efektifnya secara in vivo dan aman pada manusia. Untuk meningkatkan daya serap
atau pengiriman/transpor molekul ivermectin ketarget-target organ seperti
paru-paru dlsb perlu dipelajari penggunaan partikel nano dari ivermectin termasuk
aspek farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Oleh karena itu diperlukan
penelitian atau uji klinis yang komprehensif. Atas pertimbngan tersebut WHO
yang menjadi otoritas kesehatan global belum secara resmi merestui
penggunaannya sebagai obat anti Covid-19 untuk manusia
PENUTUP
Tidak diragukan lagi bahwa Ivermectin adalah
obat yang revolusioner, endektosida berspektrum luas sebagai antiparasit baik
pada hewan maupun manusia dan telah memberikan manfaat bagi industri peternakan
dan kesehatan hewan maupun kesehatan dan kesejahteraan manusia di berbagai
negara miskin. Begitu besar dan luas manfaatnya untuk kemanusiaan sehingga
dapat disejajarkan dengan penemuan Penisilin dan Aspirin yang juga sama-sama
memperoleh Nobel dan dianggap sebagai obat “ajaib”. Saat ini dengan diketahui
aktivitas antivrusnya termasuk terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19,
timbul harapan “Akankah Ivermectin dapat mengakhiri petualangan Covid-19 ? Semoga.
SUMBER
PUSTAKA
Aguirre-Chang G, Trujillo Figueredo A.
2020. COVID-19: ivermectin prophylaxis in adult contacts. First Report on
Health Personnel and Post-Exposure Prophylaxis. Research Gate [Internet]. 2020
Jul 21 [cited 2020 Nov 6] Available from:
https://www.researchgate.net/publication/344251319_COVID-19_ivermectin_
prophylaxis_in_adult_contacts_First_Report_on_Health_Personnel_and_Post-Exposure_Prophylaxis.
Ahmed S., Karim M.M., Ross
A.G. 2020. A five-day course of ivermectin for the treatment of COVID-19 may
reduce the duration of illness. Int. J. Infect. Dis. 2020;103(December
2):214–216. doi: 10.1016/j.ijid.2020.11.191. [PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google
Scholar]
Anonimus, 2021. India stop penggunaan ivermectin sejak Mei 2021.
22 Juni 2021 https://kumparan.com/kumparannews/india-setop-penggunaan-ivermectin-pada-pasien-covid-19-sejak-mei-1vzYff8eICK/full -->
diakses tgl 13 Juli 2021.
Aziz, M.A., Diallo, S., Diop, I.M.,
Larivière, M. and Porta, M. (1982) Efficacy and tolerance of ivermectin in
human onchocerciasis. Lancet 2, 171–173
Behera P, Patro BK, Singh AK,
Chandanshive PD, S. R. R, Pradhan SK, et al. (2021) Role of ivermectin in the
prevention of SARS-CoV-2 infection among healthcare workers in India: A matched
case-control study. PLoS ONE 16(2): e0247163. https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0247163
Bryant Andrew, Theresa A Lawrie,
Therese Dowswell, Edmund Fordham, ,Scott Mitchell, Guernsey Sarah Hill, and
Society Tony Tham. 2020. Ivermectin for Prevention and Treatment of COVID-19
Infection: a Systematic Review and Meta-analysis. Research Square. DOI: https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-317485/v1
Burg R.W., Miller B.M., Baker
E.E., Birnbaum J., Currie S.A., Hartman R., Kong Y.L., Monaghan R.L., Olson G.,
Putter I., Tunac J.B., Wallick H., Stapley E.O., Oiwa R., Ōmura S.
(1979) Avermectins, new family of potent anthelmintic agents: producing
organisms and fermentation. Antimicrob. Agents Chemother. 15 (3),
361–367 [PMC free article] [PubMed] [Google
Scholar]
Caly L, Druce JD, Catton MG, Jans DA, Wagstaff KM. The
FDA-approved drug ivermectin inhibits the replication of SARS-CoV-2 in
vitro. Antiviral Res. 2020;178:104787. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/32251768
Campbell W.C., Fisher M.H.,
Stapley E.O., Albers-Schönberg G., Jacob T.A. (1983) Ivermectin: a potent
antiparasitic agent. Science 221, 823–828 [PubMed] [Google
Scholar]
Chaccour C, Hammann F, Ramon-Garcia S, Rabinovich NR. 2020.
Ivermectin and COVID-19: keeping rigor in times of urgency. Am J Trop
Med Hyg. 2020;102(6):1156-1157. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/32314704
Chabala J.C., Mrozik H., Tolman
R.L., Eskola P., Lusi A., Peterson L.H., Woods M.F., Fisher M.H., Campbell W.C.
(1980) Ivermectin, a new broad-spectrum antiparasitic agent. J.
Med. Chem. 23, 1134–1136 [PubMed] [Google
Scholar]
Crump, Andy, and Satoshi Omura. 2011. Ivermectin, “Wonder drug”
from Japan: the human use perspective. Proc Jpn Acad Ser B Phys Biol Sci. 2011 Feb 10; 87(2): 13–28.
doi: 10.2183/pjab.87.13
Egerton J.R., Ostlind D.A., Blair
L.S., Eary C.H., Suhayda D., Cifelli S., Riek R.F., Campbell W.
(1979) Avermectins, new family of potent anthelmintic agents: efficacy of
the B1A component. Antimicrob. Agents Chemother. 15 (3),
372–378 [PMC free article] [PubMed] [Google
Scholar]
Guzzo CA, Furtek CI, Porras
AG, Chen C, Tipping R, Clineschmidt CM, Sciberras DG, Hsieh JY, Lasseter KC,
2002. Safety, tolerability, and pharmacokinetics of escalating high doses of
ivermectin in healthy adult subjects. J Clin Pharmacol 42: 1122–1133. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12362927
Larivière, M., Aziz, M., Weimann, D.,
Ginoux, J., Gaxotte, P., Vingtain, P., Beauvais, B., Derouin, F., Schultz-Key,
H., Basset, D. & Sarfati, C. (1985) Double-blind study of ivermectin and
diethylcarbamazine in African onchocerciasis patients with ocular involvement.
Lancet 326; 174–177
Lunberg Lindsay, Chelsea Pinkham, Alan Baer, Moushim iAmaya, Aarthi Narayanan, Kylie M.Wagstaff, David A.Jans, Kylene Kehn-Hal. 2013. Nuclear import and export inhibitors alter capsid
protein distribution in mammalian cells and reduce Venezuelan Equine
Encephalitis Virus replication. Antivir.Res. 100 (3): 662-672.
Lv, C., Liu, W., Wang, B., Dang, R., Qiu, L.,
Ren, J., Yan, C., Yang, Z. and Wang, X., 2018. Ivermectin inhibits DNA
polymerase UL42 of pseudorabies virus entrance into the nucleus and
proliferation of the virus in vitro and vivo. Antiviral research, 159, pp.55-62
Omura, Satoshi. 2015. A Splendid Gift from the Earth: The
Origins and Impact of the Avermectins. Nobel Lecture, December 7, 2015.
Padhy B.M., Mohanty R.R.,
Das S., Meher B.R. 2020. Therapeutic potential of ivermectin as add on
treatment in COVID 19: a systematic review and meta-analysis. J. Pharm.
Pharm. Sci. 2020;23:462–469. doi: 10.18433/jpps31457. [PubMed] [CrossRef] [Google
Scholar]
Pena-Silva R., Duffull
S.B., Steer A.C., Jaramillo-Rincon S.X., Gwee A., Zhu X. 2020. Pharmacokinetic
considerations on the repurposing of ivermectin for treatment of
COVID-19. Br. J. Clin. Pharmacol. 2020;17 doi: 10.1111/bcp.14476. Jule. [PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google
Scholar]
Pott-Junior Henrique, Monica Maria Bastos Paoliello, Alice de Queiroz
Constantino Miguel , Anderson Ferreira da Cunha, Caio Cesar de Melo Freire,
Fabio ´ Fernandes Neves, Lucimar Retto da Silva de Avo´, Meliza Goi Roscani,
Sigrid De Sousa dos Santos, Silvana Gama Florˆencio Chach´. 2021. Use of
ivermectin in the treatment of Covid-19: A pilot trial. Toxicol. Reports. 8
(2021):505-510
Takahashi, Y. Matsumoto, A., Seino, A., Ueno, J., Iwai, Y. &
Ōmura, S. (2002) Streptomyces avermectinius sp. nov., an avermectin-producing
strain. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. 52; 2163–2168.
Tay,M.Y.F. J.E.Fraser, W.K.K.Chan, N.J.Moreland, A.P.Rathore, C.Wang, S.G.Vasudevan, D.A.Jans. 2013. Nuclear
localization of dengue virus (DENV) 1–4 non-structural protein 5; protection
against all 4 DENV serotypes by the inhibitor Ivermectin. Antivir.Res. 99 (3):
301-306
UNESCO (2005) World Science Report
(2005) UNESCO, Paris, p. 198
Wagstaff. Kylie M. , Stephen
M. Rawlinson, Anna C.
Hearps. 2011. An AlphaScreen®-Based Assay for
High-Throughput Screening for Specific Inhibitors of Nuclear Import. 4 February
2011. https://doi.org/10.1177/1087057110390360
Wagstaff. K.M. et al. 2012. Ivermectin is a
specific inhibitor of importin alpha/beta-mediated nuclear import able to
inhibit replication of HIV-1 and dengue virus. Biochem.
J., 443 (3) (2012), pp. 851-856. View Record in
ScopusGoogle Scholar
Yang.Sundy N.Y.,,Sarah C.Atkinson, Chunxiao Wang, Alexander Lee, Marie A.Bogoyevitch,
Natalie A.Borg, David A.Jans. 2020. The
broad spectrum antiviral ivermectin targets the host nuclear transport importin
α/β1 heterodimer. Antiviral Research. 177 , May 2020, 104760.
Berita Terkait
Comments ( 1 )
Leave a Comments
PDHI. or.id
-
- 1 Tahun lalu / 9852 view
DRAFT REVISI KODE ETIK DOKTER HEWAN
-
- 1 Tahun lalu / 3151 view
Dokter Hewan ber- SIP, Keren... kan !!
Berita Populer
Video Terbaru
-
Pidato Ketua Umum PBPDHI di HUT PDHI ke 69 Tahun,
Jumat, 07 Jan 2022 - Dilihat 153 Kali
Write a Facebook Comment