
- Sikap PDHI Terhadap PMK di Indonesia
- PERJALANAN PANJANG MENUNGKAP DNA SEBAGAI UNSUR KEHIDUPAN
- PIL PAHIT MENJELANG IDUL QURBAN
- CERPEN FIKSI (BAGIAN KE-2) CUCU SAHABATKU LAHIR KEMBALI MELALUI KLONING
- CUCU SAHABATKU LAHIR KEMBALI MELALUI KLONING
- MENCARI BERBAGAI OBAT ANTIVIRUS: SALAH SATU STRATEGI MENGHADAPI PANDEMI MENDATANG
- Audiensi Ketua PBPDHI Dengan Walikota Palembang
- MENGENAL AAPRP YANG MULTIGUNA: DAPATKAH MENYEMBUHKAN PENDERITA COVID-19
- Penyerahan Bantuan Telur Dari PDHI Dan Kagama Kepada Universitas Tamansiswa Palembang
- TOKOH NASIONAL DIES NATALIS UGM ke 72, FKH ke 75 dan HUT RI ke 76.



- By Admin PDHI
- 06 Jan 2022 / 613 View
MENCARI BERBAGAI OBAT ANTIVIRUS: SALAH SATU STRATEGI MENGHADAPI PANDEMI MENDATANG
MENCARI
BERBAGAI OBAT ANTIVIRUS: SALAH SATU STRATEGI MENGHADAPI PANDEMI MENDATANG
Oleh:
Sjamsul Bahri
Purnabakti
Profesor Riset Kementan, Alumni FKH-IPB 1978 dan Doktor –IPB Tahun 1987
Baca Lainnya :
- MENGENAL AAPRP YANG MULTIGUNA: DAPATKAH MENYEMBUHKAN PENDERITA COVID-19
- Penyerahan Bantuan Telur Dari PDHI Dan Kagama Kepada Universitas Tamansiswa Palembang
- PERAN IVERMECTIN DALAM PERJUANGAN MELAWAN PANDEMI COVID 19 DI INDONESIA
- IVERMECTIN OBAT AJAIB
- Doa Bersama PDHI
PENDAHULUAN
Pada akhir Desember 2021
persis 2 tahun terjadinya pandemi Covid-19 sejak dilaporkan pertama kali terjadi
di Wuhan Tiongkok pada akhir Desember 2019. Saat ini Covid-19 telah menginfeksi
281.808.270 juta penduduk dunia dan menewaskan 5.411.759 juta jiwa (dengan angka
kematian 1,92%) dan masih akan terus bertambah karena penyakitnya masih ada
walaupun sudah menurun (Worldometer 31 Desember 2021). WHO masih belum mengumumkan status pandemi
covid-19 kapan akan berakhir, walaupun secara global cendrung menurun secara
signifikan, bahkan dibeberapa negara sudah sangat ringan kasusnya seperti yang
terjadi di Indonesia rata-rata kasus hariannya 183 orang dengan kematian 7 jiwa (rata-rata dalam
7 hari terakhir di akhir Desember 2021).
Suasana pandemipun sudah berkurang dan kehidupan masyarakat mulai menggeliat
kembali. Namun dibeberapa negara kasus
hariannya masih tinggi seperti di Amerika, Inggris, Rusia, Turki, Prancis, dan
Jerman. Bahkan akhir-akhir ini mulai marak kembali dengan munculnya varian baru
omicron yang awalnya banyak ditemukan di Afrika Selatan. Pandemi memang belum berakhir sehingga
protocol kesehatan tetap harus diikuti.
Selama dua tahun pandemi
covid-19 telah menyebabkan kekacauan dibidang perekonomian nasional maupun
global. Hal ini dapat dilihat dari laporan Jones, et al (2021) bagaimana
Pandemi Covid-19 telah mengubah ekonomi dunia, antara lain turunnya nilai saham
global, banyak orang kehilangan pekerjaan (di Amerika selama tahun 2020
mencapai 8,9%), pemotongan gaji, meningkatnya jumlah pengangguran, jutaan
pekerja terdampak pada kegiatan pariwisata dan perhotelan global yang hampir
terhenti, kesempatan kerja baru hampir tidak ada, sebagian besar negara dalam
keadaan resesi, menurut IMF ekonomi global selama tahun 2020 menyusut sekitar
4,4% (terburuk sejak depresi hebat tahun 1930-an), industri tansportasi
mengalami dampak yang parah (terutama akibat terhentinya perjalanan bisnis maupun
liburan/pariwisata), industri pariwisata global telah kehilangan miliaran
dollar pada tahun 2020, dan pertokoan/ supermarket dan semacamnya mengalami
kebangkrutan karena sekitar 67% konsumen/ pelanggan beralih melalui belanja
online (ritel online) dengan nilai/pendapatan global pada tahun 2020 mencapai
sekitar $3,9 triliun.
Kharas dan Dooley (2021)
mengemukakan keadaan yang tidak kalah pentingnya adalah dampak terhadap
meningkatnya angka kemiskinan, walaupun angka ini sulit diperoleh karena dalam
situasi pandemi sulit melakukan survei rumah tangga, namun dengan terjadinya pertumbuhan
ekonomi yang negativ (kontraksi) atau terjadinya resesi ekonomi maka akan
mendorong terjadi peningkatan angka kemiskinan.
Situasi ini dapat dimengerti misalnya pada saat terjadinya pneguncian/
penutupan wilayah, menjaga jarak, menutup pabrik, toko, warung, kantor, sekolah
dan lain sebagainya akan berakibat orang kehilangan pekerjaan dan mata
pencaharian sehingga akan meningkatkan jumlah kemiskinan.
Dampak ekonomi global akibat
pandemi Covid-19 ini juga dilaporkan oleh Jackson, et al (2021) dalam bukunya
berjudul “Global Economic Effects of Covid-19” bahwa pertumbuhan ekonomi global
tahun 2020 turun sekitar -3,2% dan perdagangan global juga turun sekitar 5,3 %
pada tahun 2020, yang menyebabkan tekanan yang sangat berat pada negara
berkembang yang bergantung pada perdagangan. Krisis kesehatan yang
berkepanjangan ini akibat adanya gelombang kedua dan munculnya gelombang ketiga
dengan hadirnya virus-virus mutan/ varian baru diiringi dengan lonjakan kasus
baru yang mempengaruhi ekonomi global dengan dampak yang berpotensi jangka
panjang. Semua ini mengancam tertundanya
upaya pemulihan ekonomi berkelanjutan hingga akhir 2021.
Mengingat dampak nyata
terhadap tenaga kerja, karier yang tidak jelas, kehidupan terbalik dan lain
sebagainya, kemungkinan ekonomi pascapandemi ditandai dengan pengaturan tenaga
kerja yang lebih bervariasi dan perubahan pola kerjanya. Jackson et al (2021) juga mengemukakan
sekitar 65 juta hingga 75 juta orang telah berada pada tingkat kemiskinan yag
ekstrim dan 80 juta lebih kekurangan gizi dibandingkan dengan tingkat sebelum
Pandemi. Hal serupa diungkapkan oleh Yeyati
dan Fillipini (2021) bahwa ekonomi global mengalami kontraksi sebesar 3,5 %
pada tahun 2020 menurut laporan Outlook Ekonomi Dunia April 2021 yang
diterbitkan oleh IMF. Hampir setiap
negara yang tercakup oleh IMF menunjukkan pertumbuhan negative pada tahun 2020,
dan penurunan ini lebih jelas pada negara-negara temiskin di dunia.
Sebenarnya Pandemi Flu
Spanyol tahun 1918 yang menginfeksi sekitar 500 juta jiwa dan mematikan
sekitar20-50 juta jiwa lebih dahsyat daripada pandemi covid-19. Namun sebagian besar orang yang hidup saat
ini tidak merasakan hal tersebut. Pada
pandemic Covid-19 semua orang merasakan dampaknya yang sangat luas dan masiv,
tidak hanya dalam aspek kesehatan dan ekonomi tetapi lebih jauh lagi kepada
kehidupan sosial dan kejiawaan masyarakat.
Dari aspek kesehatan banyak orang kehilangan anaknya, orang tuanya,
sahabatnya, rekan bisnisnya, orang-orang yang dicintainya, para sahabatnya
dlsb. Dari aspek sosial menyebabkan
orang menjadi terkucil menyendiri, kesepian, terisolasi dirumah, tidak dapat
berjumpa dengan para sahabatnya, rekan bisnisnya, sanak familinya, keluarga
dekat seperti anak-orangtua-saudara kandung dlsb. Dari aspek ekonomi menyebabkan usahanya
bangkrut, kehilangan langganan/ pembeli karena daya beli menurun, sebagian
pabrik tutup karena kekurangan bahan baku, pekerja dibatasi, dan lain
sebagainya.
Mengingat dampak yang luar biasa
dari pandemi covid-19 ini, dan diyakini akan
ada pandemi-pandemi lainnya pada waktu
yang akan datang, maka perlu ada
tindakan nyata untuk mengantisipasi kejadian tersebut, antara lain dengan menyiapkan
berbagai strategi untuk meminimalisir dampak yanag akan ditimbulkannya. Tulisan ini mengulas pentingnya mempersiapkan
berbagai obat antivirus berspektrum luas
yang dapat menghambat perkembangbiakan/replikasi dan penyebarluasan virus
pandemi sebelum vaksinnya ditemukan.
PRINSIP
PENGENDALIAN PENYAKIT ASAL VIRUS
Secara umum penyakit asal
virus dapat dikendalian melalui vaksinasi, penggunaan antibodi seperti plasma
konvalesen, monoclonal antibody, obat antivirus, obat-obatan anti inflamasi
seperti deksametason, obat-obatan simtomatik, melalui isolasi, karantina,
penguncian wilayah, menerapkan penggunaan masker, menjaga jarak, mencuci tangan
dan lain sebagainya.
Vaksinasi adalah yang paling
umum dan efektif untuk melindungi manusia dari infeksi agen penyakit/virus
penyebab penyakit. Tetapi ini hanya
dapat dilakukan setelah virus penyebabnya masuk dan menimbulkan wabah sehingga
virus penyebabnya dapat dijadikan bahan untuk pembuatan vaksinnya. Namun hal inipun tidak ada jaminan bahwa
vaksinnya berhasil dibuat karena cukup banyak virus penyebab penyakit yang
sulit untuk dibuat vaksinnya, seperti pada virus HIV penyebab AID, penyakit
Demam Berdarah Dengue, Penyakit Influenza musiman yang selalu bermutasi.
Obat berbasis kekebalan
seperti plasma konvalesen juga hanya dapat dilakukan setelah ada manusia yang
terinfeksi dan kemudian sembuh sehingga tubuhnya mengandung antibody terhadap
virus tersebut. Namun hal ini juga
terbatas penggunaannya disamping jumlah plasma yang diambil tidak bisa banyak,
juga harus memenuhi persyaratan medis seperti kesesuaian golongan darahnya,
kemungkinan timbulnya reaksi alergi dlsb.
Demikian juga dengan penggunaan monoclonal antibody mempunyai
keterbatasan dalam penggunannya.
Obat-obatan antiimflamasi
seperti deksametason juga hanya untuk mengurangi kejadian inflamasi dan dampaknya
dalam menyebabkan gangguan pada organ-organ lain yang terpengaruh, sedangkan
obat-obatan simtomatik hanya mengatasi sementara gejala klinis yang
muncul.
Tindakan penguncian/
lockdown atas wilayah tertentu akan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang luar
biasa jika dilakukan dalam jangka lama dan wilayah yang luas seperti pada
kejadian pandemi covid-19. Demikian juga
dengan tindakan pencegahan, penggunakan masker, membatasi pergerakan dan kerumunan
serta pertemuan banyak orang (seperti acara keagamaan dan pernikahan),
menimbulkan banyak pengangguran, kehilangan pekerjaan, meningkatkan kemiskinan
dlsb.
Pengembangan dan Penggunaan
antivirus merupakan yang paling menjanjikan untuk mengatasi pandemi yang akan
datang. Hal ini karena penelitian obat
antivirus akhir-akhir ini sudah banyak dilakukan dan khusus untuk covid-19
paling tidak terdapat 3 macam obat yang telah direkomendasikan yaitu
Remdesivir, Molnupiravir, dan Paxlovid.
Carakerja obatnyapun sudah banyak diketahui, dan yang lebih penting
Penelitian dalam mencari Obat Antivirus dapat dilakukan sejak saat ini terutama
antivirus yang berspektrum luas sehingga dapat dijadikan stok obat pilihan jika
pandemi muncul dikemudian hari. Kalaupun
perlu penelitian tidak dimulai dari nol lagi tetapi sudah bisa ketahap uji efektifitas
obat pada hewan coba dan sukarelawan karena keamanan obat antivirus sudah
diperoleh dari penelitian sebelumnya.
VIRUS,
ANTIVIRUS DAN CARAKERJANYA
Bakteri adalah sel hidup
utuh dengan aktivitas metabolisme yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup,
sehingga mempunyai banyak target untuk mencari obat pembasminya, yaitu berbagai
antibiotic. Mereka juga memiliki
struktur/fitur unik seperti dinding sel yang berbeda dan tidak ditemukan pada
sel manusia atau hewan sehingga antibiotic dapat mengganggu dinding sel atau
bagian lainnya dari bakteri, tanpa merusak sel inangnya. Jadi bakteri, jamur/kapang, dan parasit lebih
mudah untuk diatasi/ditangkal karena sifat seluler yang menawarkan banyak
target untuk aktivitas obat. Selain itu
cukup banyak mikroba (termasuk kapang) yang dapat mengembangkan/ memproduksi
antibiotic untuk mempertahankan diri dari mikroba lain, sehingga ketersediaan
antibiotic di alam cukup banyak.
Sementara itu Virus dengan
genom yang kompak dan anatomi seluler yang tidak lengkap, tidak dapat
berkembang biak sendiri, ia hanya hidup di dalam sel manusia/ inang/biakan sel
hidup bergantung pada protein yang ada didalam sel untuk sebagian besar
kebutuhan mereka, akibatnya virus tidak mempunyai banyak target yang mudah
untuk dikendalikan. Selain itu senyawa
antivirus alami juga sangat sedikit sehingga para akhli harus menciptakannya
dari awal (Amber Dance, 2021).
Jadi berbeda dengan
antibiotic yang bekerja dengan membunuh bakteri, tetapi obat antivirus tidak
membasmi virus tersebut secara langsung, tetapi hanya menghentikan penyebarannya
dari sel ke sel atau dari orang ke orang atau dari hewan ke hewan. Oleh karena
itu antivirus ini akan sangat bermanfaat mencegah terjadinya penyebaran jika
diberikannya pada saat orang mulai terinfeksi virus. Semakin cepat orang diberi
obat antivirus semakin besar peluang mencegah terjadinya penyebaran virus. Oleh karena itu kemampuan mendiagnosa penykit
virus ini merupakan kunci awal dari keberhasilan mencegah penyebarannya.
Antivirus
adalah zat yang melawan virus dan menghambat pertumbuhan/ perkembangannya. Atau
dengan kata lain bahwa setiap zat/ senyawa yang dapat memperlambat replikasi
virus adalah antivirus. Seringkali obat
antivirus yang semula dirancang untuk mengatasi satu virus tertentu dapat juga
bekerja untuk melawan virus lainnya. Hal
ini karena protein virus seperti polymerase yang digunakan untuk menyalin genom
virus seringkali serupa/ mirip pada berbagai virus lain.
Secara garis besar
perjalanan hidup virus dimulai dengan masuk kedalam tubuh manusia/hewan
(melalui pernafasan, mucosa mata, dlsb, kemudian menempel pada sel inang
(melalui reseptor yang cocok) lalu menyelinap (endonuclease) masuk ke dalam
sel, lalu memerintahkan mesin sel inang
untuk menyalin (mengkopi) gen virus dan membuat ribuan protein virus,
lalu virus-virus yang baru terbentuk ini (yang jumlahnya sangat banyak/ ribuan)
melarikan diri keluar dari sel dan mencari target sel-sel baru lainnya.
Pada saat proses replikasi
didalam sel inang, gen-gen atau protein virus ini perlu berinteraksi dengan
berbagai molekul yang terdapat dalam sel inang, disinilah peluang untuk
bekerjanya obat antivirus. Obat antivirus dapat dirancang memiliki molekul yang
mirip dengan molekul yang ada pada sel inang sehingga pada waktu virus
bereplikasi, molekul obat dapat masuk keuntai yang sedang tumbuh sehingga
mencegah penambahan nukleotida lagi sehingga proses replikasi terganggu.
Selain itu obat antivirus
juga pada umumnya ditargetkan untuk mengganggu proses penyalinan gen virus ke
dalam DNR/RNA virus dalam membentuk genom virus baru sehingga replikasi virus
tidak terjadi/dicegah. Misalnya antivirus remdesivir memiliki senyawa molekul
yang mirip salah satu bahan penyusun genetic yang penting untuk replikasi virus
corona yang kemudian molekul ini ikut masuk ke dalam genom virus sehingga replikasinya
menjadi terganggu. Demikian juga dengan
antivirus Mulnopiravir yang dikembangkan Ridgeback Biotherapeutics LP dan Merck
& Co bekerja dengan cara yang serupa (tetapi tidak sama) sehingga
menyebabkan kesalahan dalam menyusun genom virus baru/dalam proses replikasi
sehingga replikasi terhenti (Runwal, 2021).
Berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan yang berkembang, bahwa RdRp (RNA dependent-RNA Polimerase) adalah
enzim kunci dalam siklus replikasi virus dengan peran ganda menyalin mRNA dari
template genom dan bertindak sebagai replikasi untuk menyalin RNA genom. Oleh karena itu profil target produk
antivirus yang diinginkan adalah menargetkan RdRp yang dikodekan oleh semua
virus RNA (Painter, et al 2021). Hal ini
juga telah dikemukakan oleh Shu dan Bong
(2016) bahwa enzim RdRp adalah target terbaik untuk memperoleh antivirus
berspektrum luas pada sejumlah keluarga virus RNA.
Molnupiravir, seperti
remdesivir, adalah analog nukleosida, yang berarti meniru beberapa blok
pembangun RNA. Tetapi senyawa ini bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda.
Dalam hal ini Remdesivir sebagai
'penghenti rantai' (dalam penggandaan/ replikasi genom RNA-nya untuk
membentuk virus baru) dengan cara menghentikan enzim yang membangun 'rantai'
RNA ini dalam rangka menambahkan tautan lebih lanjut. Sedangkan Molnupiravir
bekerja dengan cara masuk ke dalam untaian RNA yang sedang berkembang (karena
bentuk molekulnya mirip), dan ketika masuk, ia menimbulkan kekacauan. Senyawa
tersebut dapat mengubah konfigurasinya, terkadang meniru nukleosida cytidine
dan terkadang meniru uridin. Untaian RNA itu menjadi cetak biru yang salah
untuk putaran genom virus berikutnya. Di mana pun senyawa itu dimasukkan dan
pergeseran konformasi itu terjadi, titik mutasi
terjadi (Menéndez-Arias, 2021). Ketika cukup banyak mutasi terakumulasi,
populasi virus menjadi terputus. Hal ini disebut mutagenesis yang mematikan.
Virus pada dasarnya bermutasi sampai mati. Dan karena mutasi terakumulasi
secara acak, sulit bagi virus untuk mengembangkan resistensi terhadap
molnupiravir, ini nilai tambah lain untuk senyawa tersebut (Williyard, 2021). Hal ini serupa dengan yang dijelaskan Ledford
(2021) bahwa Molnupiravir ini bekerja dengan memasukkan mutasi ke dalam genom
virus selama replikasi virus. Dalam hal ini
metabolit obat diambil oleh enzim (RNA-dependent RNA polymerase) dan dimasukkan
ke dalam genom virus, akhirnya menyebabkan begitu banyaknya kesalahan sehingga
virus tidak dapat bertahan lagi (Menéndez-Arias, 2021).
BEBERAPA
CONTOH OBAT ANTIVIRUS UNTUK SARS CoV-2 (Covid-19) YANG RELATIF BARU
DIREKOMENDASIKAN
Remdesivir
Remdesivir
adalah agen antivirus spektrum luas yang dikembangkan untuk pengobatan infeksi
hepatitis C dan virus Ebola. Remdesivir termasuk analog nukleosida yang
menghambat RNA polimerase yang bergantung pada RNA virus dan memiliki aktivitas
melawan berbagai virus RNA (Warren et al 2016). Pada tahun 2017 peneliti
dari Pusat Penemuan dan Pengembangan Obat Antivirus yang didukung NIH (national
institute of Health USA) telah melaporkan adanya potensi anti coronavirus dari
Remdesivir pada model hewan (Sheahan, et al 2017). Sedangkan pada ujicoba wabah Ebola di Afrika
menunjukkan bahwa Remdesivir aman untuk manusia, sehingga memudahkan untuk dilakukan
pada uji Covid-19 ketika wabah ini datang.
Remdesivir
juga aktif melawan SARS-CoV dan MERS-CoV, yang dapat dijelaskan oleh kesamaan
di situs aktif polimerase virus ini. Berdasarkan aktivitas yang
menjanjikan ini terhadap virus corona lain, remdesivir terbukti juga menghambat
SARS-CoV-2 secara in vitro (Wang et al 2020). Dari berbagai penelitian
terlihat bahwa pemberian antivirus ini seyogyanya diberikan saat awal
terjadinya infeksi karena dapat mengurangi load
virus. Permasalahannya bagaimana bisa tahu sipenderita berada dalam terinfeksi
awal. Jadi harus didukung dengan diagnose yang cepat dan akurat, pelacakan
penyakit yang cepat, dan mengetahui penderita OTG.
Pada
penelitian lainnya para peneliti mengamati potensi antivirus remdesivir
terhadap SARS-CoV-2 pada monyet.
Selanjutnya pada uji klinis awal dengan pasien covid-19 yang dirawat di
rumah sakit remdesivir memperlihatkan perannya dalam mempersingkat waktu
pemulihan, dimana waktu pemulihan penderita covid-19 lebih cepat yaitu 10 hari
berbanding 15 hari yang diberi placeso (Beigel et al 2020). Akhirnya obat
tersebut secara resmi diakui oleh FDA pada Oktober 2020 sebagai
obat pertama untuk penderita Covid-19 (Runwal, 2021) yang diberikan secara
intra vena. Sebelumnya Remdesivir sudah sejak lama diteliti untuk inhibitor
influenza, coronavirus, alphavirus, flavivirus (untuk demam berdarah dan Zika)
dalam rangka untuk mempersiapkan cadangan obat antivirus (Dolgin, 2021).
Kelemahan
obat ini adalah selain harganya mahal juga pemberiannya harus dirumah sakit
karena secara intra vena, dan biasanya pasien yang masuk ke rumah sakit
kondisinya sudah lebih parah dibanding mereka yang dirawat dirumah, sehingga
peluang remdesivir dalam menyembuhkan pasien menjadi lebih kecil (karena
penderita sudah parah) dibandingkan jika
penderita covid-19 diketahui terinfeksi lebih awal, karena antivirus akan lebih
efektif bekerja mencegah perkembangan virus sebelum virus berkembang lebih jauh.
Molnupiravir
Obat
antivirus lain yang lebih baru adalah Molnupiravir yang merupakan analog
ribonukleusida D-N4-hydroxycytidine, memiliki aktivitas antivirus berspektrum
luas terhadap berbagai virus RNA seperti virus Hepatitis C, virus Ebola, dan
Influenza (Stuyver et al 2003; Reynard et al 2015; Toots, et al 2019), kini
digunakan sebagai pil/ tablet secara oral untuk pasien Covid-19 ringan hingga
sedang (MHRA, 2021). Pemberiannya dua
kali sehari selama 5 hari dapat mengurangi rawat inap dan kematian hingga
separuh dari jumlah penderita.
Molnupiravir ini disetujui Pemerintah Inggris pada tgl 4 Nopember 2021
melalui rekomendasi MHRA suatu Badan eksekutif di bawah Departemen Kesehatan
dan Perawatan Sosial (Depatartment of Health and Social Care) UK. Jadi Molnupiravir
adalah obat antivirus pertama untuk Covid-19 yang diberikan secara oral dengan
nama dagangnya Lagevrio (MHRA, 2021).
Kelebihan Molnupiravir adalah lebih mudah dalam pembuatannya, harganya
relative murah, dapat diberikan secara oral sehingga dapat digunakan pasien
dirumah pada gejala/infeksi awal sehingga lebih efektif dalam mencegah/
mempersingkat durasi penularan.
Molnupiravir pada awalnya ditahun
2013 dikembangkan sebagai antivirus yang diberikan secara oral untuk mengatasi penyakit dari genus
Alphavirus yaitu virus Equine
Encephalitis Venezuela (Venezuelan equine encephalitis virus/VEEV) yang
dikhawatirkan banyak menyebabkan kasus encephalitis pada manusia dengan tingkat
kematian bisa mencapai 50% (Zacks dan Paessler, 2010; Painter et al 2021). Mengingat ada tiga genus Alphavirus yang saat
itu berkembang, maka obat antivirus yang dikembangkan diarahkan yang berspkektrum
luas untuk virus RNA lainnya dan dapat diaplikasikan secara oral karena VEEV
ini juga diduga dapat digunakan sebagai senjata biologis (Steele et al, 2007).
Kemudian oleh perusahaan
nirlaba Universitas Emory, DRIVE (Drug Innovation Ventures at Emory) di
Atlanta. Pada tahun 2015 Kepala eksekutif DRIVE George Painter menawarkan
kepada kolaborator Mark Denison di Vanderbilt Uniersity di Nashville, Tenessee
untuk diuji pada virus Corona. Denison
mengemukakan bahwa ternyata obat ini dapat bekerja melawan beberapa virus
corona seperti MERS dan virus hepatitis tikus (Sheahan, et al 2020; Painter, et
al 2021).
DRIVE juga melisensikan ke
Ridgeback Biotherapeutics di Miami Florida, dimana Plemper peneliti yang
direkrut Painter melakukan pengujian obat ini pada virus corona pada musang,
dan hasilnya obat ini dapat menghentikan kemampuan virus untuk bereplikasi
serta menekan penularan virus dari musang yang terinfeksi ke musang yang tidak terinfeksi
(Cox et al, 2021; Willyard, 2021). Petunjuk data dari Merck juga memperlihatkan
bahwa Molnupiravir tampaknya mempersingkat durasi infektivitas SARS-CoV-2 pada
peserta uji coba (Willyard, 2021). Sebelumnya uji in vitro Molnupiravir (NHC)
terbukti berpotensi menghambat replikasi SARS-CoV-2 dalam biakan sel saluran
pernafasan manusia dan juga pada model hewan coba ( Cox, et al 2021; Wahl et al
2021). Pada uji coba lanjutan menunjukan bahwa Molnupiravir yang diberikan
secara oral sangat efektif dalam mengurangi virus SARS-CoV-2 nasofaring dan
juga tingkat RNA virusnya (Fischer et al 2021).
Hasil-hasil kajian inilah yang mendukung bahwa Molnupiravir merupakan
obat antiviral pertama yang diberikan
secara oral untuk mengatasi/ menurunkan perawatan dirumah sakit dan mencegah
kematian pada penderita Covid-19 yang ringan dan sedang serta dapat dijadikan
sebagai senjata yang penting dalam memerangi virus SARS-CoV-2, namun peranannya
untuk mengatasi Covid-19 yang berat masih menjadi pertanyaan dan perlu
penelitian lebih lanjut (Singh et al 2021).
Lagevrio ini paling efektif diminum selama tahap awal infeksi sehingga
direkomendasikan penggunaannya sesegera mungkin setelah tes Covid-19 positf dan
dalam waktu 5 hari sejak dinyatakan
positif.
Pada uji model biakan sel
terhadap tiga macam virus corona musiman
(HCoV-NL63, HCoV-OC43, dan HCoV-229E) memperlihatkan bahwa Molnupiravir β-D-N4-hydroxycytidine
(NHC) sangat efektif menghambat
replikasi virus dan produksi virus dengan cara molnupiravir ini berikatan
dengan enzim protease (RdRp/RNA-dependent RNA polymerase) sehingga meningkatkan
aktivitas antiviral (Wang, et al 2021).
Wang et al (2021) meyakini bahwa penggunaan kembali obat anti SARS-CoV-2 ini
adalah pilihan yang layak untuk mengembangkan terapi secara cepat untuk pasien
yang terinfeksi virus corona musiman. Namun kedepannya masih perlu penelitian
mengingat Molnupirvir ini banyak menimbulkan mutasi pada virus sehingga ada
kekhawatiran memunculkan varian virus baru yang berbahaya (walaupun kecil
kemungkinannya), selain itu perlu mempelajari kemungkinan efeknya pada DNA sel
inang walaupun para peneliti mengatakan aman.
Paxlovid
Sehari setelah Inggris
mengijinkan penggunaan Molnupravir (Lagevrio) sebagai obat antivirus SARS-CoV-2
per oral, Pfizer yang bermarkas di New York City juga tidak mau ketinggalan,
dan mengumumkan bahwa antivirus dengan
nama dagang Paxlovid dapat mengurangi perawatan sampai 89% (Ledford,
2021). Paxlovid bekerja dengan cara
menghambat enzim yang diperlukan protein virus menjadi bentuk
fungsionalnya. Paxlovid ini adalah
kombinasi antara antivirus yang bernama
Nirmatrelvir dan obat ritonavir yang membantu mencegah enzim dihati memecah
antivirus sebelum sempat menonaktifkan virus corona (Ledford, 2021). Dalam hal ini Nirmatrelvir yang penghambat
covalent mengikat secara langsung residu cysteine katalitik (Cys 145) dari
enzim cysteine protease atau sebagai inhibitor protease 3CL (Pavan et al,
2021). Sedangkan kombinasinya obat
ritonavir bekerja dengan memperlambat metabolism nirmatrelvir oleh enzim
sitokrom sehingga konsentrasi nirmatrelvir tetap tinggi (Wikipedia, 2021). Paxlovid ini dapat diberikan kepada penderita
Covid-19 yang ringan hingga moderat berumur 12 tahun ke atas yang diketahui
positif SARS-CoV-2.
Antivirus
lainnya
Antivirus
oral lainnya adalah Favipiravir yang dikenal juga sebagai Avigan (pertama kali
dikembangkan sebagai pil anti flu di Jepang) sedang dilakukan uji klinis untuk mengetahui
apakah dapat digunakan lebih awal pada infeksi Covid-19. Uji sebelumnya pada pasien covid ringan
hingga sedang yang dirawat di rumah sakit, memperlihatkan bahwa obat ini dapat
membersihkan SARS CoV-2 di hidung dan tenggorokan (Runwal, 2021). Saat ini Jepang, Rusia dan India telah
menyetujui penggunaan Favipiravir untuk mengobati Covid-19 (Runwal, 2021).
PROSPEK
PENELITIAN DAN PENGGUNAAN OBAT ANTIVIRUS KEDEPAN
Urgensi
penelitian obat antivirus kedepan
Akhir-akhir
ini (sejak munculnya Covid-19), banyak peneliti yang melakukan penelitian untuk
mengembangkan obat-obatan anti Covid-19 (anti virus SARS-CoV-2). Penelitian
antivirus juga dimaksudkan untuk dijadikan stok obat-obatan antivirus dalam mengantisipasi
munculnya pandemi baru yang diduga dapat muncul suatu waktu. Diharapkan dengan cukup banyaknya persediaan
obat antivirus akan memberikan banyak pilihan dalam mengatasi pandemi baru
tersebut sebelum vaksinnya berhasil diciptakan, mengingat proses pengembangan
vaksin memerlukan waktu yang lama dan belum tentu berhasil karena virus-virus
tertentu sukar dikembangkan vaksinnya seperti virus HIV, virus DBD (virus
dengue), influenza dlsb.
Para akhli kesehatan global
umumnya menyetujui untuk memprioritaskan penelitian obat antivirus sebagai stok
yang akan digunakan pada saat datangnya pandemi baru. Oleh karena itu pada Juni 2021 Presiden AS
Joe Biden mengumumkan ivestasi lebih dari 1 milir dolar untuk mengembangkan
antivirus terhadap Covid-19, bahkan ia juga menjanjikan tambahan investasi $1,2
miliar untuk menemukan senyawa baru yang dapat mengobati virus SAR-CoV-2 dan
virus baru lainnya yang berpotensi menjadi pandemi (Runwal, 2021).
Dolgin (2021) dalam
artikelnya mengatakan bahwa para pimpinan Aliansi Penelitian dan Pengembangan
Covid-19 yang beranggotakan lebih dari 20 perusahaan mengatakan bahwa kelompok
ini berencana menargetkan sekitar 25 kandidat antivirus yang dapat digunakan
untuk diuji jika terjadi pandemi berikutnya.
Ambisi serupa juga dimiliki oleh AS, terutama memprioritaskan pada virus
corona. Di Uni Eropa juga mulai
melakukan proyek serupa untuk mendapatkan obat antivirus baik terhadap virus
corona maupun virus lain yang berpotensi menimbulkan pandemi. Saat ini berbagai
negara, perusahaan dan para ahli merencanakan mengembangkan proyek serupa untuk
menghadapi pandemi mendatang yang pasti akan terjadi namun tidak diketahui
waktunya. Inilah momentum (yang dipicu
oleh pandemic Covi-19 dengan dampak sosial ekonomi yang sangat dahsyat) untuk
mencari dan menemukan obat antivirus maupun obat-obatan lainnya yang bermanfaat
digunakan ketika pandemi mendatang terjadi.
Pertimbangan prioritas perlu
ditujukan kepada virus RNA karena kelompok virus ini telah banyak menyebabkan
beban ganggun kesehatan global yang sangat menonjol dan merupakan sumber utama
penyakit menular yang muncul dan muncul kembali (Woolhouse et al, 2016).
Disamping itu bahwa diera Megatren termasuk perubahan iklim, deforestasi dan
urbanisasi yang telah berdampak pada masyarakat akan menghasilkan lebih banyak
virus RNA yang ditemukan sehingga akan lebih banyak juga virus RNA yang
berpotensi menimbulkan Pandemi (Painter et al 2021)..
Menurut Dolgin (2021)
strategi apapun yang digunakan untuk menghasilkan obat antivirus, para ahli
sepakat bahwa obat-antivirus yang ditujukan untuk mengatasi kesiapsiagaan
pandemi mendatang, harus setidaknya diuji sepenuhnya pada model hewan dan
melalui beberapa uji coba pada sukarelawan manusia yang sehat dengan hasil
setidaknya memperlihatkan efek positif dan aman terhadap kesehatan
manusia. Dengan demikian ketika ada
pandemi, obat ini (yang diketahui aman untuk manusia) dapat diujicobakan untuk
mengetahui efektivitasnya terhadap virus baru tersebut ketika vaksin belum
tersedia. Kegunaan lain/ alasan lain
mengapa sejak saat ini perlu digalakkan penelitian mencari obat antivirus baru
(baik influenza, virus corona, flavivirus, nipahvirus, ebola, dlsb yang
berpotensi menyebabkan pandemi mendatang) adalah agar pada saat terjadi pandemi
para ahli tidak memulai dari awal lagi sehingga dapat dengan cepat melakukan
uji coba dari antivirus hasil penelitian tersebut atau dengan kata lain bahwa dengan
ketersediaan obat-obat antivirus yang diperoleh ini setidaknya para ahli tidak
memulai penelitian dari nol untuk mencari obat antivirus ketika terjadi pandemi
baru.
Hal demikian dapat dilihat
dari diakuinya remdesivir, molnupiravir, dan paxlovid sebagai abat anti virus
SARS-CoV-2 yang sebenarnya ketiga obat tersebut merupakan obat antivirus lama
yang awalnya digunakan masing-masing untuk virus lain seperti Hepatitis C dan
Ebola (untuk remdesivir), Venezuelan equine encephalitis virus, dan influenza (untuk molnupiravir). Kesiapsiagaan ini sangat diperlukan setelah
belajar dari kasus pandemic Covid-19 yang telah meruntuhkan sendi-sendi
perekonomian global dan menghentikan aktivitas manusia di berbagai sektor.
Upaya
yang tidak mudah
Tidak seperti obat
antibakteri atau antibiotika yang sudah banyak tersedia untuk mengatasi
berbagai infeksi oleh bakteri, obat antivirus masih sangat jarang karena
relativ sulit mengembangkannya. Hal ini antara lain disebabkan karena virus
mengandalkan sel hidup pada manusia atau hewan dalam memperbanyak menyalin
dirinya sendiri. Sehingga untuk
menghancurkan/mematikan virus, maka obat antivirus ini harus dapat masuk ke
dalam sel manusia/hewan yang terinfeksi untuk melumpuhkan virus tersebut tanpa
merusak sel inangnya. Jadi obat antivirus biasanya bekerja dengan memblok salah
satu dari 6 langkah pada siklus hidup virus, misalnya pada langkah pertama
yaitu memblok terjadinya perlekatan virus dengan reseptor sel inang, atau
mengacaukan proses pengkopian/penyalinan gen virus/ replikasi atau memblok pada
proses pelepasan virus (Torneri et al, 2020).
Persyaratan pertama yang
penting adalah bahwa obat antivirus tersebut tidak boleh merusak sel atau organ
inangnya. Sehingga pencarian obat antivirus ditujukan targetnya kepada protein
antivirus untuk merubah/ mencegah virus tersebut bereplikasi, walaupun ada
potensi virus tersebut nantinya dapat melakukan mutasi (Runwal, 2021). Untuk
virus-virus yang yang memproduksi protein virus secara unik dan tidak tumpang
tindih dengan protein yang diproduksi oleh inangnya, akan memudahkan
menjadikannya target dari obat antivirus yang akan dikembangkan. Sebaliknya jika protein target (virus) tumpang
tindih atau melakukan fungsi yang sama dengan sel inang, maka ada potensi
menimbulkan kerusakan atau menimbulkan efek samping pada inang.
Upaya
ini memang tidak mudah, namun dengan komitmen semua pihak (para ahli,
perusahaan, para pemimpin dunia dlsb) mudah-mudahan tujuan, sasaran dan
targetnya dapat dicapai. Oleh karena itu
kebijakan penelitian pencarian berbagai obat antivirus untuk dijadikan stok
obat antivirus dalam mengantisipasi munculnya pandemi baru, adalah sangat tepat
sehingga pada saatnya nanti para peneliti tidak memulai dari awal lagi dan
pandemi baru dapat diredam.
KEPUSTAKAAN
Amber Dance. 2021. Why It’s
So Hard to Make Antiviral Drugs for Covid and Other Diseases. Knowable Magazine 11 February 2021.
https://www.scientificamerican.com/article/why-its-so-hard-to-make-antiviral-drugs-for-covid-and-other-diseases/
akses tgl 13-12-21
Beigel, John H, et al.
2021. Remdesivir for the Treatment of
Covid-19 - Final Report. N Engl J Med. 2020 Nov 5;383(19):1813-1826. doi:
10.1056/NEJMoa2007764. Epub 2020 Oct 8. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32445440/ diakses tgl 13 Desember 2021
Cox R.M., Wolf J.D., Plemper
R.K. 2021. Therapeutically administered ribonucleoside analogue
MK-4482/EIDD-2801 blocks SARS-CoV-2 transmission in ferrets. Nat Microbiol.
2021;6:11–18. - PMC – PubMed
Dolgin, Elie. 2021. The race
for antiviral drugs to beat COVID — and the next pandemic. News Feature: April
14, 2021. Nature 592, 340-343 (2021). https://www.nature.com/articles/d41586-021-00958-4 diakses tgl 11 Desember 2021.
Fischer W., Eron J.J.,
Holman W., Cohen M.S., Fang L., Szewczyk L.J., Sheahan T.P., Baric R., Mollan
K.R., Wolfe C.R., Duke E.R., Azizad M.M., Borroto-Esoda K., Wohl D.A., Loftis
A.J., Alabanza P., Lipansky F., Painter W.P. Molnupiravir, an oral antiviral
treatment for COVID-19. medRxiv. 2021 doi: 10.1101/2021.06.17.21258639
Grein J, Ohmagari N, Shin D,
Diaz G, Asperges E, Castagna A, Feldt T, Green G, Green ML, Lescure F-X,
Nicastri E, Oda R, Yo K, Quiros-Roldan E, Studemeister A, Redinski J, Ahmed S,
Bernett J, Chelliah D, Chen D, Chihara S, Cohen SH, Cunningham J, D’Arminio
Monforte A, Ismail S, Kato H, Lapadula G, L’Her E, Maeno T, Majumder S, Massari
M, Mora-Rillo M, Mutoh Y, Nguyen D, Verweij E, Zoufaly A, Osinusi AO, DeZure A,
Zhao Y, Zhong L, Chokkalingam A, Elboudwarej E, Telep L, Timbs L, Henne I,
Sellers S, Cao H, Tan SK, Winterbourne L, Desai P, Mera R, Gaggar A, Myers RP,
Brainard DM, Childs R, Flanigan T. Compassionate use of remdesivir for patients
with severe covid-19. New England J Med. 2020. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2007016.
Jackson. J.K., Martin .A. Weiss, Andres B. Schwarzenberg,
Rebecca M Nelson, Karen M. Sutter, and Michael D. Sutherland. 2021. Global
Economic Effects of Covid-19. Updated November 10, 2021. Congressional Research
Service. https://crsreports.congress.gov
Jones Lora, Daniele Palumbo & David Brown. 2021. Coronavirus:
How the pandemic has changed the world economy. BBC News January 24th,
2021. https://www.bbc.com/news/business-51706225 diakses tgl 19 Desember 2021
Kharas Homi and Meagan Dooley. Wednesday, June 2, 2021.
Extreme poverty in the time of COVID-19.
https://www.brookings.edu/research/extreme-poverty-in-the-time-of-covid-19/
akses tgl 19 Desember 2021
Ledford Heidi. 2021. COVID antiviral pills: what scientists still
want to know. https://www.nature.com/articles/d41586-021-03074-5 diakses tgl 11-12-21
Menéndez-Arias, Luis. 2021.
Decoding molnupiravir-induced mutagenesis in SARS-CoV-2. J Biol Chem. 2021 Jul;297(1):100867. doi:
10.1016/j.jbc.2021.100867. Epub 2021 Jun 9.
MHRA (Medicines and
Healthcare products Regulatory Agency). November 4, 2021. Press release: First oral antiviral for
COVID-19, Lagevrio (molnupiravir), approved by MHRA. https://www.gov.uk/government/news/first-oral-antiviral-for-covid-19-lagevrio-molnupiravir-approved-by-mhra diakses tgl 11 Desember 2021.
Painter George R, Michael G
Natchus , Oren Cohen , Wendy Holman, and
Wendy P Painter. 2021. Developing a
direct acting, orally available antiviral agent in a pandemic: the evolution of
molnupiravir as a potential treatment for COVID-19. Curr Opin Virol. 2021 Oct;50:17-22. doi:
10.1016/j.coviro.2021.06.003. Epub 2021 Jun 18
Pavan M, Bolcato G, Bassani
D, Sturlese M, Moro S (December 2021). "Supervised Molecular Dynamics
(SuMD) Insights into the mechanism of action of SARS-CoV-2 main protease
inhibitor PF-07321332". J Enzyme Inhib Med Chem. 36 (1): 1646–1650.
doi:10.1080/14756366.2021.1954919. PMC 8300928. PMID 34289752.
Runwal, Priyanka. 2021. How
the rise of antivirals may change the course of the pandemic. https://www.nationalgeographic.com/science/article/how-the-rise-of-antivirals-may-change-the-course-of-the-pandemic diakses tgl 13-12-21
Sheahan, T. P. et al. Sci.
Transl. Med. 9, eaal3653 (2017). PubMed Article Google Scholar
Sheahan T.P., Sims A.C., Zhou
S., Graham R.L., Pruijssers A.J., Agostini M.L., Leist S.R., Schafer A., Dinnon
K.H., 3rd, Stevens L.J., Chappell J.D., Lu X., Hughes T.M., George A.S., Hill
C.S., Montgomery S.A., Brown A.J., Bluemling G.R., Natchus M.G., Saindane M.,
Kolykhalov A.A., Painter G., Harcourt J., Tamin A., Thornburg N.J., Swanstrom
R., Denison M.R., Baric R.S. An orally bioavailable broad-spectrum antiviral
inhibits SARS-CoV-2 in human airway epithelial cell cultures and multiple
coronaviruses in mice. Sci. Transl. Med. 2020;12 - PMC - PubMed
Shu B., Gong P. 2016.
Structural basis of viral RNA-dependent RNA polymerase catalysis and
translocation. Proc Natl Acad Sci U S A. 2016;113:E4005–E4014. - PMC – PubMed
Singh Awadhesh Kumar, Akriti
Singh, Ritu Singh , and Anoop Misra. 2021.
Molnupiravir in COVID-19: A systematic review of literature. Diabetes Metab Syndr. Nov-Dec
2021;15(6):102329. doi: 10.1016/j.dsx.2021.102329. Epub 2021 Oct 30.
Steele K., Reed D.S., Glass
P.J., Hart M.K., Ludwig G.V., Pratt W.D., Parker M.D., Smith J.F. 2007. In: Textbooks of Military Medicine—Medical
Aspects of Biological Warfare. Dembek Z.F., editor. Borden Institute;
Washington, DC, Office of the Surgeon General, Falls Church, VA: 2007.
Alphavirus encephalitides; pp. 241–270.
Stuyver L.J., Whitaker T.,
McBrayer T.R., Hernandez-Santiago B.I., Lostia S., Tharnish P.M., Ramesh M.,
Chu C.K., Jordan R., Shi J., Rachakonda S., Watanabe K.A., Otto M.J., Schinazi
R.F. 2003. Ribonucleoside analogue that blocks replication of bovine viral
diarrhea and hepatitis C viruses in culture. Antimicrob. Agents Chemother.
2003;47:244–254. - PMC – PubMed
Toots M., Yoon J.J., Cox
R.M., Hart M., Sticher Z.M., Makhsous N., Plesker R., Barrena A.H., Reddy P.G.,
Mitchell D.G., Shean R.C., Bluemling G.R., Kolykhalov A.A., Greninger A.L.,
Natchus M.G., Painter G.R., Plemper R.K. 2019. Characterization of orally
efficacious influenza drug with high resistance barrier in ferrets and human
airway epithelia. Sci. Transl. Med. 2019;11 - PMC – PubMed
Torneri Andrea, Pieter
Libin, Joris Vanderlocht, Anne-Mieke Vandamme, Johan Neyts & Niel Hens.
2020. A prospect on the use of antiviral drugs to control local outbreaks of
COVID-19. BMC Medicine volume 18, Article number: 191 (2020).
Wahl A., Gralinski L.E.,
Johnson C.E., Yao W., Kovarova M., Dinnon K.H., 3rd, Liu H., Madden V.J.,
Krzystek H.M., De C., White K.K., Gully K., Schafer A., Zaman T., Leist S.R.,
Grant P.O., Bluemling G.R., Kolykhalov A.A., Natchus M.G., Askin F.B., Painter
G., Browne E.P., Jones C.D., Pickles R.J., Baric R.S., Garcia J.V. SARS-CoV-2
infection is effectively treated and prevented by EIDD-2801. Nature.
2021;591:451–457. - PMC – PubMed
Wang M, Cao R, Zhang L, Yang
X, Liu J, Xu M, Shi Z, Hu Z, Zhong W, Xiao G. 2020a. Remdesivir and chloroquine
effectively inhibit the recently emerged novel coronavirus (2019-ncov) in
vitro. Cell Res. 2020;30(3):269–71.
Wang, Y., Zhang, D., Du, G.,
Du, R., Zhao, J., Jin, Y., Fu, S., Gao, L., Cheng, Z., Lu, Q., Hu, Y., Luo, G.,
Wang, K., Lu, Y., Li, H., Wang, S., Ruan, S., Yang, C., Mei, C., Wang, Y.,
Ding, D., Wu, F., Tang, X., Ye, X., Ye, Y., Liu, B., Yang, J., Yin, W., Wang,
A., Fan, G., Zhou, F., Liu, Z., Gu, X., Xu, J., Shang, L., Zhang, Y., Cao, L.,
Guo, T., Wan, Y., Qin, H., Jiang, Y., Jaki, T., Hayden, F.G., Horby, P.W., Cao,
B., Wang, C.. 2020b. Remdesivir in adults with severe COVID-19: a randomised,
double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. The Lancet 2020;
395(10236):1569-1578.
Wang Yining, Pengfei Li,
Kundan Solanki, Yang Li, Zhongren Ma, Maikel P Peppelenbosch, Mirza S Baig, and
Qiuwei Pan. 2021. Viral polymerase
binding and broad-spectrum antiviral activity of molnupiravir against human
seasonal coronaviruses. Virology. 2021
Dec;564:33-38. doi: 10.1016/j.virol.2021.09.009. Epub 2021 Oct 2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34619630/ diakses tgl 23 Desember 2021.
Warren TK, Jordan R, Lo MK,
Ray AS, Mackman RL, Soloveva V, Siegel D, Perron M, Bannister R, Hui HC, et al.
Therapeutic efficacy of the small molecule gs-5734 against Ebola virus in
rhesus monkeys. Nature. 2016;531(7594):381–5.
Willyard Cassandra. 2021.
How antiviral pill molnupiravir shot ahead in the COVID drug hunt. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34625735/
diakses tgl 23 Desember 2021. Nature
2021 Oct 8. doi: 10.1038/d41586-021-02783-1. Online ahead of print.
Wikipedia. 2021.
Nirmatrelvir. https://en.wikipedia.org/wiki/Nirmatrelvir
diakses tgl 28 desember 2021
Woolhouse M.E., Brierley L.,
McCaffery C., Lycett S. 2016. Assessing the epidemic potential of RNA and DNA
viruses. Emerg Infect Dis. 2016;22:2037–2044. - PMC – PubMed
Yeyati, Eduardo. L, and
Federico Fillipini. 2021. Social and economic impact of Covid-19. https://www.brookings.edu/research/social-and-economic-impact-of-covid-19/ diakses tgl 19 Desember 2021
Zacks M.A., Paessler S.
2010. Encephalitic alphaviruses. Vet Microbiol. 2010;140:281–286. - PMC –
PubMed
TAGS: | kesehatan-umum kesehatan |
Berita Terkait
Leave a Comments
PDHI. or.id
-
- 1 Tahun lalu / 10260 view
DRAFT REVISI KODE ETIK DOKTER HEWAN
-
- 1 Tahun lalu / 3455 view
Dokter Hewan ber- SIP, Keren... kan !!
Berita Populer
Video Terbaru
-
Pidato Ketua Umum PBPDHI di HUT PDHI ke 69 Tahun,
Jumat, 07 Jan 2022 - Dilihat 186 Kali
Write a Facebook Comment